Sebelum
kita mengenal kebudayaan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, mari kita
bahas sedikit saja mengenai daerah ini.
Daerah
Istimewa Yogyakarta didirikan pada tanggal 4 Maret 1950. Daerah ini memiliki
luas terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
terkenal di tingkat nasional dan internasional. Yogyakarta pun merupakan tempat
tujuan wisata andalan setelah provinsi Bali.
Daerah
ini sering kali disebut dengan “kota budaya”. Mengapa? Karena memang jelas di
daerah Yogyakarta masih sangat kental kebudayaannya. Banyak sekali
kebudayaan-kebudayaan di daerah ini yang menjadi cirri khas tersendiri.
Misalnya, batik, tari kreasi baru, wayang kulit, kethoprak, gamelan jawa,
jathilan atau kuda lumping. Selain kebudayaan yang bernilai seni, ada juga
kebudayaan yang bernilai keagamaan dan sosial misalnya keraton, candi, dan
upacara-upacara sakral. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang
kebudayaan “Saparan Bekakak” yang
termasuk ke dalam upacara sakral.
Saparan
Bekakak merupakan upacara adat masyarakat Gamping, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Bekakak berarti korban
penyembelihan hewan atau manusia. Hanya saja, manusia yang dimaksud dalam
upacara ini yaitu tiruan manusia yang berwujud sepasang boneka pengantin dalam
posisi duduk bersila, terbuat dari tepung ketan yang berisi cairan gula merah.
Disebut saparan karena upacara ini dilaksanakan
pada bulan Sapar (Syafar), bulan kedua dalam kalender Hijriah (Islam).
Menurut cerita,
upacara Bekakak bermula dari sebuah musibah yang menimpa dua orang abdi dalem
(pegawai keraton) Sultan Hamengkubuwono I. Konon, sekitar 250 tahun yang lalu
saat Sultan HB I pindah dari pesanggrahan Ambarketawang ke keraton yang baru,
ada seorang abdi dalem penangsong Sultan HB yang tidak ikut pindah dan memeilih
untuk tetap tinggal di daerah Ambarketawang Gamping. Abdi dalem itu bernama Ki
Wirosuto. Bersama-sama dengan penduduk setempat, Ki Wirosuto menggali batu
kapur yang digunakan untuk membangun Keraton Yogyakarta. Namun usaha penggalian
kapur ini kerap menelan korban jiwa, termasuk Ki Wirosuto dan istrinya, Nyi
Wirosuto.
Melihat banyaknya
korban yang berjatuhan, termasuk abdi dalem kesayangannya, Sultah HB I pun
bertapa di kawasan Gunung Gamping untuk mencari petunjuk agar masalah itu dapat
teratasi. Dalam tapaannya, Sultan mendapat wisik dari setan Bekasakan penunggu
Gunung Gamping. Berhubung warga selalu menggali kapur di tempat itu, sebagai
gantinya setan-setan penunggu meminta sepasang pengantin untuk dikorbankan di
tempat itu. Jika hal tersebut tida dilaksanakanmaka penggali kapurlah yang akan
jadi tumbalnya.
Sultan
pun mengiyakan permintaan para penunggu Gunung Gamping. Namun, beliau
melakukannya dengan sebuah tipu muslihat. Pengantin yang dikorbankan bukanlah
pengantin sungguhan, melainkan boneka berbentuk pasangan pengantin bekakak yang
terbuat dari tepung ketan dan sirup gula merah. Pasangan pengantin bekakak
tersebut kemudian dikorbankan di Gunung Gamping. Ternyata tipuan itu berhasil.
Sejak saat itu tradisi pengorbanan pengantin bekakak menjadi ritual yang rutin
dilaksanakan setiap tahun di Desa Ambarketawang.
Pada pelaksanannya, upacara adat ini memiliki beberapa keunikan. Misalnya dalam upacara ini ada dua pasang pengantin yang dibuat salah satu pasang dihias bergaya Solo dan yang lainnya dihias bergaya Yogyakarta. Nantinya, pengantin bekakak akan diarak menuju Gunung Gamping dan Gunung Kiling. Sebelum arak-arakan dimulai, akan terlebiih dahulu digelar pementasan fragmen “Prasetyaning Sang Abdi” yang menceritakan tentang kisah Ki Wirosuto. Setelah pementasan fragmen selesai, baru arak-arakan dimulai diikuti tiga buah joli yang berisi sesajan.
Pada pelaksanannya, upacara adat ini memiliki beberapa keunikan. Misalnya dalam upacara ini ada dua pasang pengantin yang dibuat salah satu pasang dihias bergaya Solo dan yang lainnya dihias bergaya Yogyakarta. Nantinya, pengantin bekakak akan diarak menuju Gunung Gamping dan Gunung Kiling. Sebelum arak-arakan dimulai, akan terlebiih dahulu digelar pementasan fragmen “Prasetyaning Sang Abdi” yang menceritakan tentang kisah Ki Wirosuto. Setelah pementasan fragmen selesai, baru arak-arakan dimulai diikuti tiga buah joli yang berisi sesajan.
Keunikan
lainnya akan muncul saat upacara ini berlangsung. Di tengah-tengah ritual,
biasanya akan muncul sekelompok anak yang berperab sebagai anak genderuwo.
Anak-anak ini berjumlah 50-an anak dan akan didampingi sepasang genderuwo serta
banaspati . Mereka bertugas mengawal pengantin bekakak. Anakan genderuwo
menggambarkan lelembut dan stan Bekasakan yang sedang bersukaria dan bahagia karena
akan mendapatkan korban berupa sepasang pengantin bekakak. Peran sebagai anak
gunderewo ini sifatnya turun-temurun. Kalau dulu orang tua merka pernah
berperan sebagai anakan genderuwo, maka anaknya pun akan menjadi anak genderuwo
di tahun-tahun berikutnya.
Makna
nilai-nilai luhur sejarah local yang terkandung
adalah :
Ø Nilai
keagamaan. Proses terbentuknya system keagamaan pada masyarakat yang belum
mengenal tulisan, berawal dari munculnya emosi keagamaan sehingga mempengaruhi
manusia untuk melakuakn aktifitas-aktifitas ritual. Dengan memiliki emosi
keagamaan itu segala sesuatu yang tidak berarti akan memiliki nilai keramat.
Ø Nilai
luhur penghormatan dan pengorbanan kepada Ki Wirosuto beserta istrinya karena
telah merelakan dirinya sebagai tumbal dari keganasan dan keangkeran Gunung
Gamping. Pengorbanan itu sangat berarti bagi keselamatan para pengguna batu
gamping sebagai bahan bangunan dari warga Ambarketawang dan sekitarnya.
Ø Nilai
luhur kesetiaan Ki Wirosuto dan istrinya sebagai abdi dalem penongsong
merupakan suatu penghormatan bagi keluarga Ki Wirosuto. Dari kesetiaan tersebut
ada perkenan dari Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk
mengenang pengorbanan Ki Wirosuto dan istrinya beserat hewan peliharaannya
diperingati sebagai awal pelaksaan upacara Saparan Bekakak Ambarketawang.
Dan kini,
sebagai wujud kepatuhan terhadap titah yang pernah disampaikan tersebut,
upacara Saparan Bekakak masih dilaksanakan secara rutin dari tahun ke tahun
oleh masyarakat Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Meskipun secara maknawi
tujuan dari penyelenggaraannya telah berbaur dengan kepentingan pariwisata,
namun nilai-nilai kearifan local yang tersirat di dalam upacara ini tetap
dipertahankan hingga saat ini.
No comments:
Post a Comment